Tulisan jalan

burung

animasi blog

Kamis, 22 Juli 2021

Bahaya Penyimpangan Pada Aqidah




Penyimpangan pada aqidah yang dialami oleh seseorang berakibat fatal dalam seluruh kehidupannya, bukan saja di dunia tetapi berlanjut sebagai kesengsaraan yang tidak berkesudahan di akherat kelak. Dia akan berjalan tanpa arah yang jelas dan penuh dengan keraguan dan menjadi pribadi yang sakit personaliti. Biasanya penyimpangan itu disebabkan oleh sejumlah faktor diantaranya :
1.      Tidak menguasainya pemahaman aqidah yang benar karena kurangnya pengertian dan perhatian. Akibatnya berpaling dan tidak jarang menyalahi bahkan menentang aqidah yang benar.
2.      Fanatik kepada peninggalan adat dan keturunan. Karena itu dia menolak aqidah yang benar. Seperti firman Allah SWT tentang ummat terdahulu yang keberatan menerima aqidah yang dibawa oleh para Nabi dalam Surat Al-Baqarah 170 yang artinya : "Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Ikutlah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami." (Apabila mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk."
3.      Taklid buta kepada perkataan tokoh-tokoh yang dihormati tanpa melalui seleksi yang tepat sesuai dengan argumen Al-Qur'an dan Sunnah. Sehingga apabila tokoh panutannya sesat, maka ia ikut tersesat.
4.      Berlebihan (ekstrim) dalam mencintai dan mengangkat para wali dan orang sholeh yang sudah meninggal dunia, sehingga menempatkan mereka setara dengan Tuhan, atau dapat berbuat seperti perbuatan Tuhan. Hal itu karena menganggap mereka sebagai penengah/arbiter antara dia dengan Allah. Kuburan-kuburan mereka dijadikan tempat meminta, bernadzar dan berbagai ibadah yang seharusnya hanya ditujukan kepada Allah. Demikian itu pernah dilakukan oleh kaumnya Nabi Nuh AS ketika mereka mengagungkan kuburan para sholihin. Lihat Surah Nuh 23 yang artinya : "Dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa', Yaghuts, Ya'uq dan Nasr."
5.      Lengah dan acuh tak acuh dalam mengkaji ajara Islam disebabkan silau terhadap peradaban Barat yang materialistik itu. Tak jarang mengagungkan para pemikir dan ilmuwan Barat serta hasil teknologi yang telah dicapainya sekaligus menerima tingkah laku dan kebudayaan mereka.
6.      Pendidikan di dalam rumah tangga, banyak yang tidak berdasar ajaran Islam, sehingga anak tumbuh tidak mengenal aqidah Islam. Pada hal Nabi Muhammad SAW telah memperingatkan yang artinya : "Setiap anak terlahirkan berdasarkan fithrahnya, maka kedua orang tuanya yang meyahudikannya, menashranikannya, atau memajusikannya" (HR: Bukhari).
Apabila anak terlepas dari bimbingan orang tua, maka anak akan dipengaruhi oleh acara / program televisi yang menyimpang, lingkungannya, dan lain sebagainya.
7.      Peranan pendidikan resmi tidak memberikan porsi yang cukup dalam pembinaan keagamaan seseorang. Bayangkan, apa yang bisa diperoleh dari 2 jam seminggu dalam pelajaran agama, itupun dengan informasi yang kering. Ditambah lagi mass media baik cetak maupun elektronik banyak tidak mendidik kearah aqidah bahkan mendistorsinya secara besar-besaran.

Kamis, 29 Oktober 2015

SHALAT ISTISQO' (Pengertian dan Tata Caranya)




Beberapa bulan ini, beberapa daerah sedang mengalami musim kemarau panjang. Banyak daerah yang kekeringan,susah mencari air bersih, bahkan terjadi kebakaran hutan.
Ada beberapa upaya mengatasi kekurangan air tersebut, seperti dengan menggali/mengebor tanah lebih dalam lagi hingga ratusan meter, menyediakan tangki air keliling, hingga mengadakan hujan buatan.
Namun sesungguhnya, ada satu lagi upaya yang tidak hanya mengandalkan kekuatan tenaga dan pikiran semata. Yaitu upaya ibadah, memohon kepada Allah Sang Maha Kuasa, Yang Maha Segalanya, Yang menciptakan musim kemarau dan yang mengirimkan hujan, yakni mengadakan shalat Istisqo', shalat minta hujan.

Pengertian Istisqa
Istisqa secara bahasa artinya meminta air minum dari orang lain untuk diri sendiri atau untuk orang lain.
Di dalam Kitab Fathul Bari Imam Ibnu Hajar al-Asqalani menyebutkan, shalat istisqa adalah shalat meminta hujan kepada Allah, ketika terjadi kekeringan, dengan aturan dan tata cara tertentu.
Waktu dan Tempat Shalat Istisqa
Pada kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Muyasarah dinyatakan bahwa shalat istisqa dilakukan pada waktu kapanpun, selain waktu yang terlarang untuk shalat.
Adapun tempatnya dilakukan di tanah lapang, sebagaimana shalat id, kecuali di Mekah, dilakukan di Masjidil Haram.
Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Abdullah bin Zaid Radhiyallahu ‘anhu  disebutkan, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam keluar menuju tanah lapang kemudian shalat istisqa, beliau menghadap kiblat dan membalik kain pakaian atasan beliau.
Sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘Anhu menambahkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ketika keluar untuk melaksanakan shalat istisqa, beliau berjalan dengan tunduk, tawadhu, khusyu, dan penuh perendahan diri kepada Allah.
Ini berbeda ketika keluar untuk shalat Idul Fitri dan Idul Adha dalam keadaan bersuka cita.
Hukum Shalat Istisqa
Shalat istisqa hukumnya sunnah muakkadah (Sunnah yang sangat dianjurkan, seperti shalat id), ketika terjadi musim kering/kemarau panjang.
Ibnu ‘Abdil Barr menyimpulkan bahwa para ulama telah bersepakat bahwa keluar beramai-ramai untuk shalat istisqa  dengan doa dan memohon kepada Allah untuk menurunkan hujan ketika musim kemaran hukumnya adalah sunnah, yang telah disunnahkan oleh Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam.
Tata Cara Shalat Istisqa
Pelaksanaan shalat istisqa hampir sama dengan pelaksanaan shalat id, tidak diawali dengan adzan maupun iqamah. Hanya diumumkan saja kepada umat bahwa akan dilaksanakan shalat istisqa jam berapa dan di tempat mana.
Ulama ahli fiqih menganjurkan, agar tiga hari sebelum  shalat istisqa dilaksanakan, terlebih dahulu seorang pemimpin atau ulama setempat menyerukan kepada masyarakat agar melaksnakan puasa (shaum) sunah dan bertaubat meninggalkan segala bentuk kemaksiatan serta kembali beribadah, menghentikan perbuatan yang zalim dan mengusahakan perdamaian.
Kaum Muslimin dan muslimat yang melaksanakan shalat istisqa, sebaiknya memakai pakaian yang sederhana, tidak berhias dan tidak pula memakai wewangian.
Hal ini seperti disebutkan di dalam hadits :
Artinya: Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam keluar dengan penuh tawadhu’, berpakaian sederhana, penuh kekhusyuan, tidak tergesa-gesa, lalu memohon dengan penuh kesungguhan, kemudian beliau melakukan shalat dua rakaat seperti Shalat pada hari raya.” (H.R. Imam Ibnu Majah).
Setelah semua berkumpul di tanah lapang, imam shalat yang sekaligus khatib berdiri di depan makmum, kemudian shalat dua rakaat. Setelah itu dilanjutkan dengan khutbah.
Pada rakaat pertama setelah takbiratul ihram (takbir pertama), dilanjutkan bertakbir 7 (tujuh) kali dan pada rakaat kedua setelah bangkit dari sujud, bertakbir 5 (lima) kali.
Setelah takbir ketujuh, kemudian membaca doa iftitah, surat al-fatihah, dan surat. Tidak ada surat tertentu yang dianjurkan untuk dibaca, sehingga bisa membaca surat apapun.
Ruku’, i’tidal, sujud, dan seterusnya sampai berdiri pada rakaat kedua, sama dengan shalat seperti biasanya. Begitu juga pada rakaat kedua, setelah takbir 5 (lima) kali, membaca al-fatihah, surat, begitu setersunya sampai salam. Setelah itu imam shalat melaksanakan khutbah.
Namun sebagian ulama ahli fiqih juga berpedapat bahwa tata cara shalat istisqa adalah sebagaimana shalat sunnah biasa, yaitu sebanyak dua rakaat tanpa ada tambahan takbir dan lainnya sebagaimana pada shalat id.
Hal ini didasari hadits dari Abdullah bin Zaid, yang menyebutkan bahwa “Nabi Shallallahu ’Alaihi Wasallam keluar menuju lapangan. Beliau meminta hujan kepada Allah dengan menghadap kiblat, kemudian membalikan posisi selendangnya, lalu shalat dua rakaat. (pada hadits riwayat Bukhari dan Muslim).
Ini juga menunjukkan beliau khutbah dan berdoa terlebih dahulu, baru kemudian shalat istisqa.
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi setelah menjelaskan dua tata cara ini mengatakan bahwa mengerjakan yang mana saja dari dua cara tersebut adalah boleh dan baik.