Tulisan jalan

burung

animasi blog

Kamis, 29 Oktober 2015

SHALAT ISTISQO' (Pengertian dan Tata Caranya)




Beberapa bulan ini, beberapa daerah sedang mengalami musim kemarau panjang. Banyak daerah yang kekeringan,susah mencari air bersih, bahkan terjadi kebakaran hutan.
Ada beberapa upaya mengatasi kekurangan air tersebut, seperti dengan menggali/mengebor tanah lebih dalam lagi hingga ratusan meter, menyediakan tangki air keliling, hingga mengadakan hujan buatan.
Namun sesungguhnya, ada satu lagi upaya yang tidak hanya mengandalkan kekuatan tenaga dan pikiran semata. Yaitu upaya ibadah, memohon kepada Allah Sang Maha Kuasa, Yang Maha Segalanya, Yang menciptakan musim kemarau dan yang mengirimkan hujan, yakni mengadakan shalat Istisqo', shalat minta hujan.

Pengertian Istisqa
Istisqa secara bahasa artinya meminta air minum dari orang lain untuk diri sendiri atau untuk orang lain.
Di dalam Kitab Fathul Bari Imam Ibnu Hajar al-Asqalani menyebutkan, shalat istisqa adalah shalat meminta hujan kepada Allah, ketika terjadi kekeringan, dengan aturan dan tata cara tertentu.
Waktu dan Tempat Shalat Istisqa
Pada kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Muyasarah dinyatakan bahwa shalat istisqa dilakukan pada waktu kapanpun, selain waktu yang terlarang untuk shalat.
Adapun tempatnya dilakukan di tanah lapang, sebagaimana shalat id, kecuali di Mekah, dilakukan di Masjidil Haram.
Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Abdullah bin Zaid Radhiyallahu ‘anhu  disebutkan, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam keluar menuju tanah lapang kemudian shalat istisqa, beliau menghadap kiblat dan membalik kain pakaian atasan beliau.
Sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘Anhu menambahkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ketika keluar untuk melaksanakan shalat istisqa, beliau berjalan dengan tunduk, tawadhu, khusyu, dan penuh perendahan diri kepada Allah.
Ini berbeda ketika keluar untuk shalat Idul Fitri dan Idul Adha dalam keadaan bersuka cita.
Hukum Shalat Istisqa
Shalat istisqa hukumnya sunnah muakkadah (Sunnah yang sangat dianjurkan, seperti shalat id), ketika terjadi musim kering/kemarau panjang.
Ibnu ‘Abdil Barr menyimpulkan bahwa para ulama telah bersepakat bahwa keluar beramai-ramai untuk shalat istisqa  dengan doa dan memohon kepada Allah untuk menurunkan hujan ketika musim kemaran hukumnya adalah sunnah, yang telah disunnahkan oleh Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam.
Tata Cara Shalat Istisqa
Pelaksanaan shalat istisqa hampir sama dengan pelaksanaan shalat id, tidak diawali dengan adzan maupun iqamah. Hanya diumumkan saja kepada umat bahwa akan dilaksanakan shalat istisqa jam berapa dan di tempat mana.
Ulama ahli fiqih menganjurkan, agar tiga hari sebelum  shalat istisqa dilaksanakan, terlebih dahulu seorang pemimpin atau ulama setempat menyerukan kepada masyarakat agar melaksnakan puasa (shaum) sunah dan bertaubat meninggalkan segala bentuk kemaksiatan serta kembali beribadah, menghentikan perbuatan yang zalim dan mengusahakan perdamaian.
Kaum Muslimin dan muslimat yang melaksanakan shalat istisqa, sebaiknya memakai pakaian yang sederhana, tidak berhias dan tidak pula memakai wewangian.
Hal ini seperti disebutkan di dalam hadits :
Artinya: Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam keluar dengan penuh tawadhu’, berpakaian sederhana, penuh kekhusyuan, tidak tergesa-gesa, lalu memohon dengan penuh kesungguhan, kemudian beliau melakukan shalat dua rakaat seperti Shalat pada hari raya.” (H.R. Imam Ibnu Majah).
Setelah semua berkumpul di tanah lapang, imam shalat yang sekaligus khatib berdiri di depan makmum, kemudian shalat dua rakaat. Setelah itu dilanjutkan dengan khutbah.
Pada rakaat pertama setelah takbiratul ihram (takbir pertama), dilanjutkan bertakbir 7 (tujuh) kali dan pada rakaat kedua setelah bangkit dari sujud, bertakbir 5 (lima) kali.
Setelah takbir ketujuh, kemudian membaca doa iftitah, surat al-fatihah, dan surat. Tidak ada surat tertentu yang dianjurkan untuk dibaca, sehingga bisa membaca surat apapun.
Ruku’, i’tidal, sujud, dan seterusnya sampai berdiri pada rakaat kedua, sama dengan shalat seperti biasanya. Begitu juga pada rakaat kedua, setelah takbir 5 (lima) kali, membaca al-fatihah, surat, begitu setersunya sampai salam. Setelah itu imam shalat melaksanakan khutbah.
Namun sebagian ulama ahli fiqih juga berpedapat bahwa tata cara shalat istisqa adalah sebagaimana shalat sunnah biasa, yaitu sebanyak dua rakaat tanpa ada tambahan takbir dan lainnya sebagaimana pada shalat id.
Hal ini didasari hadits dari Abdullah bin Zaid, yang menyebutkan bahwa “Nabi Shallallahu ’Alaihi Wasallam keluar menuju lapangan. Beliau meminta hujan kepada Allah dengan menghadap kiblat, kemudian membalikan posisi selendangnya, lalu shalat dua rakaat. (pada hadits riwayat Bukhari dan Muslim).
Ini juga menunjukkan beliau khutbah dan berdoa terlebih dahulu, baru kemudian shalat istisqa.
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi setelah menjelaskan dua tata cara ini mengatakan bahwa mengerjakan yang mana saja dari dua cara tersebut adalah boleh dan baik.

Selasa, 13 Oktober 2015

MEWASPAI KESYIRIKAN DI BULAN SURO (MUHARRAM)




Tanggapan masyarakat mengenai bulan Suro atau bulan Muharram tidak lepas dari ungkapan di bawah ini.
 "Bulan suro adalah bulan penuh musibah, penuh bencana, penuh kesialan, bulan keramat dan sangat sakral".
Dari tanggapan di atas kita akan melihat berbagai ritual untuk menghindari kesialan, bencana, musibah dilakukan oleh mereka. Di antaranya adalah acara ruwatan, yang berarti pembersihan. Mereka yang diruwat diyakini akan terbebas dari sukerta atau kekotoran. Ada beberapa kriteria bagi mereka yang wajib diruwat, antara lain ontang-anting (putra/putri tunggal), kedono-kedini (sepasang putra-putri), sendang kapit pancuran (satu putra diapit dua putri). Mereka yang lahir seperti ini menjadi mangsa empuk Bhatara Kala, simbol kejahatan.
Karena kesialan bulan Suro ini pula, sampai-sampai sebagian orang tua menasehati anaknya seperti ini: ”Nak, hati-hati di bulan ini. Jangan bepergian dengan naik kendaraan, nanti bisa celaka. Ini bulan suro lho.
Karena bulan ini menurut mereka adalah bulan sial, sebagian orang tidak mau melakukan hajatan nikah, dsb. Jika melakukan hajatan pada bulan ini bisa mendapatkan berbagai musibah, acara pernikahannya tidak lancar, mengakibatkan keluarga tidak harmonis, dsb. Itulah berbagai anggapan masyarakat mengenai bulan Suro dan kesialan di dalamnya.
Ketahuilah saudaraku bahwa sikap-sikap di atas tidaklah keluar dari dua hal yaitu mencela waktu dan beranggapan sial dengan waktu tertentu. Karena ingatlah bahwa mengatakan satu waktu atau bulan tertentu adalah bulan penuh musibah dan penuh kesialan, itu sama saja dengan mencela waktu.

Perlu kita ketahui bersama bahwa mencela waktu adalah kebiasaan orang-orang musyrik. Mereka menyatakan bahwa yang membinasakan dan mencelakakan mereka adalah waktu. Allah pun mencela perbuatan mereka ini. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ”Dan mereka berkata: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa (waktu)”, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (QS. Al Jatsiyah: 24). Jadi, mencela waktu adalah sesuatu yang tidak disenangi oleh Allah. Itulah kebiasan orang musyrik dan hal ini berarti kebiasaan yang jelek.
Begitu juga dalam berbagai hadits disebutkan mengenai larangan mencela waktu. Di antaranya terdapat hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Allah ’Azza wa Jalla berfirman, ’Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang.”[5]
Dari sini, mencela waktu digolongkan sesuatu yang telarang, bisa jadi haram, bahkan bisa termasuk perbuatan syirik. Kenapa demikian? Karena Allah sendiri mengatakan bahwa Dia-lah yang mengatur siang dan malam. Apabila seseorang mencela waktu dengan menyatakan bahwa bulan ini adalah bulan sial atau bulan ini selalu membuat celaka, maka sama saja dia mencela Pengatur Waktu, yaitu Allah ’Azza wa Jalla.
Kita juga akan melihat berbagai macam ritual yang dilaksanakan di bulan Suro.
Di Solo akan diarak seekor Kebo (dinamakan Kyai Slamet) di tengah manusia lalu diambil berkah dari kotorannya. Ada yang menganggap bahwa kotoran ini –jika disimpan- akan mendatangkan banyak rizki dan memperlancar usaha.
Kami cuma bisa berkomentar, “Ini suatu yang tidak masuk akal. Kok hanya kotoran, apalagi kotoran kebo bisa diambil berkahnya [?] Sunggguh sangat tidak logis! Apalagi ini adalah ngalap berkah yang termasuk kesyirikan karena di dalamnya terdapat ketergantungan pada selain Allah dalam mengambil manfaat dan menolak bahaya. Na’udzubillahi min dzalik.”
Di tempat lain ketika memasuki bulan Suro yang dianggap sangat sakral, kita juga akan melihat orang-orang membersihkan pusaka atau benda-benda keramatnya seperti keris, kereta peninggalan leluhur dan lain sebagainya. Ada juga yang melakukan arak-arakan tumpeng lalu diambil berkahnya. Juga ada yang melakukan ritual kungkum (berendam di tempat-tempat tertentu) untuk penyucian diri. Dan masih banyak ritual lainnya ketika itu.

Bulan suro dianggap amatlah sakral, sehingga jadi ajang ritual-ritual tadi. Yang jelas, ritual-ritual tadi tidak terlepas dari kesyirikan dan bid’ah (sesuatu yang diada-adakan). Agama Islam tidak pernah mengajarkan ritual-ritual semacam itu. Ritual-ritual tadi hanya warisan leluhur yang turun temurun yang tidak pernah diajarkan sama sekali oleh agama ini. Seorang yang beriman pada Allah dan Rasul-Nya dengan benar tentu tidak akan melakukan ritual-ritual semacam ini apalagi ritual ini tidak terlepas dari kesyirikan dan bid’ah. Maka seharusnya seorang muslim berpikir berulang kali untuk melakukan ritual-ritual tadi karena akibat syirik dan bid’ah yang sangat besar.
Di antara bahaya syirik adalah akan menghapus seluruh amalan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
 “Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al An’am[6]: 88).
Apabila orang seperti ini tidak bertaubat, maka diharamkan baginya surga. Allah Ta’ala berfirman,
”Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (QS. Al Maidah [5]: 72)
Subhanallah, sungguh sangat mengerikan sekali dampak dari berbuat syirik.
Begitu juga dampak dari berbuat bid’ah. Pelaku bid’ah tidak akan merasakan nikmatnya meminum air di telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di akhirat nanti dan mereka tidak akan mendapatkan syafa’at beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Dinampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku.’ Lalu Allah berfirman, ‘Engkau sebenarnya tidak mengetahui bid’ah yang mereka buat sesudahmu.’ ” (HR. Bukhari no. 7049)
Dalam riwayat lain dikatakan,
“(Wahai Rabbku), mereka betul-betul pengikutku. Lalu Allah berfirman, ‘Sebenarnya engkau tidak mengetahui bahwa mereka telah mengganti ajaranmu setelahmu.” Kemudian aku (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengatakan, “Celaka, celaka bagi orang yang telah mengganti ajaranku sesudahku.” (HR. Bukhari no. 7051)

Inilah do’a laknat untuk orang-orang yang berbuat bid’ah. Seharusnya ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja yang kita ikutilah dan itu akan membuat kita merasa cukup. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770
Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih)
Sebagaimana yang telah kami jelaskan di awal bahwa bulan Muharram adalah bulan yang mulia. Bulan ini disebut bulan haram karena berbagai macam keharaman seperti pembunuhan dilarang ketika itu. Ini berarti keharaman yang lebih besar dari pembunuhan lebih keras lagi untuk dilarang. Jadi, perbuatan syirik dan bid’ah lebih keras pelarangannya ketika dilakukan pada bulan haram termasuk bulan Suro (bulan Muharram). Wallahu a’lam bish showab.
Semoga kita dijauhkan oleh Allah dari berbuat syirik dan bid’ah.
Semoga Allah memperbaiki aqidah dan keyakinan kaum muslimin. Semoga Allah memudahkan dalam setiap hajat kita. Dan semoga kita termasuk orang-orang yang bersabar ketika menghadapi musibah dan setiap takdir Allah.
Allahumman fa’ana bima ’alamtanaa, wa ’alimnaa maa yanfa’una wa zidna ’ilma. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ’ala nabiyyina Muhammad wa ’ala alihi wa shohbihi wa sallam.